Langsung ke konten utama

Kasmaran

Ia sedang duduk di sudut favoritnya. Teh panasnya masih belum disentuhnya. Gelasnya masih di tempat yang sama seperti awal ia meletakkannya tadi. Asap tipis yang terlihat keluar dari dalam gelas, menghadirkan kehangatan tersendiri di pagi yang cukup dingin. Ia sedang menatap danau kecil yang terlihat dari jendela besar di sudut. Pagi ini ia mengenakan sweater longgar berwarna merah muda dan celana selutut berwarna hitam. Kerah sweaternya yang lebar itu sengaja dibiarkannya jatuh ke pundaknya. Ia tidak membenarkan atau menariknya ke leher. Seolah-olah memamerkan bahunya yang indah dan berkulit putih. Rambutnya diikatkan ke belakang dengan karet berbulu berwarna ungu. Wajahnya hanya dirias dengan bedak tipis dan lip glos pink pada bibirnya. Namun pipinya terlihat merona merah memancarkan kebahagiaan dari hatinya. Ditambah sebuah senyum manis tersembunyi di sudut bibirnya, ia terlihat anggun dan mengagumkan pagi ini.


Cuaca di luar tidak bisa dibilang cerah. Langit penuh dengan awan-awan berwarna kelabu yang menghalangi sinar matahari. Sisa hujan semalam masih tampak jelas pada pepohonan di tepian jalan sepanjang kompleks perumahan. Udara sejuk dan menyegarkan. Bagi beberapa orang suasana pagi seperti ini akan terasa muram dan membuat malas untuk berangkat ke kantor. Tapi baginya pagi seperti ini justru membuatnya bersemangat. Aku berani bertaruh, sepanjang hari senyumnya tidak akan beranjak dari wajahnya. Suasana hatinya akan bagus sampai waktu tidur menjelang. Dan ia bisa menulis berlembar-lembar halaman tanpa berhenti kecuali untuk makan siang. Awalnya aku heran dengan seleranya yang menurutku aneh. Tapi lama-lama rasanya aku jadi terbawa oleh banyak kebiasaan 'aneh'nya dan jadi menyukainya juga.

Kulihat laptopnya masih belum dibukanya. Aku melirik ke arah dapur dan meja makan. Biasanya kalau dia sudah membuat teh untuk dirinya sendiri, berarti dia sudah membuat sarapan pagi. Harum roti bakar tercium oleh hidungku. Sarapan favoritnya untuk pagi seperti ini.


Ia tidak menyadari kehadiranku sedari tadi. Ia asyik dengan perhatiannya pada danau di luar sana. Rasanya aku ingin tahu apa yang sedang dipikirkannya dengan tatapan mata yang syahdu seperti ini. Aku berjalan pelan untuk menghampirinya. Ia mudah terkejut, karena itu aku berjalan berjinjit. Aku tepat di belakangnya ketika harum tubuhnya menguar ke udara. Lembut dan menenangkan. Aku jadi gemas dengan pesonanya pagi ini. Kupeluk dia perlahan dari belakang.


Ia tersenyum dan membalas pelukanku. Ia menengadahkan wajahnya dan membelai wajahku dengan tangannya yang halus. Aku menundukkan wajahku dan mencium bibirnya dengan lembut. Rasanya seribu tahun umurku tidak akan pernah cukup untuk menghabiskan kebahagiaan ini. Aku selalu jatuh cinta padanya setiap pagi. Selalu. Entah sihir apa yang digunakannya, tapi begitulah kenyataannya. Bahkan di saat ia sedang tidak dalam suasana hati yang baik dan mendiamkanku sejak bangun tidur, aku akan tetap jatuh cinta padanya setiap pagi. Di mataku ia tetap cantik dan memesona meskipun ia cemberut, sakit atau marah. Memeluk dan menciumnya dengan perlahan setiap pagi, akan memberikanku kekuatan baru. Tak ada mutiara seindah kekasihku di dunia.


"Pagi-pagi kok sudah melamun?" tanyaku.


"Mas masih tidur tadi. Aku nggak mau membangunkan. Mas kan tadi baru tidur jam 3 pagi keasikan nonton bola," jawabnya seraya bangkit dari duduknya dan masuk dalam pelukanku lagi. Hhm...pasti akan minta dimanja seharian. Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Ia berdiri berhadapan denganku, kedua tangannya di leherku, setengah menggelayut manja.


"Kan hari libur," kataku. Ia tidak menyahut. Wajahnya setengah menunduk dan pipinya tambah merona merah. Aku berusaha menyembunyikan tawaku tapi tidak bisa. Rasanya dadaku dipenuhi rasa sukacita yang besar.


"Kenapa?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi.


"Cantik," jawabku singkat sambil menciumnya sekali lagi.


Ia membalikkan badannya dan menyandarkan punggungnya di dadaku. Aku masih memeluknya dan merasakan kehangatan tubuhnya. Kami menatap ke luar jendela, ya...ke danaunya itu.


Sejak dulu dia memimpikan sebuah rumah yang nyaman dan tenang di tepi sebuah danau. Meskipun bekerja di tengah-tengah kota, ia tidak suka kebisingan. Aku juga demikian. Dulu kami berencana membeli rumah di kota kecil. Tapi ketika pekerjaan kami berkembang di kota, kami harus memikirkan ulang rencana itu. Entah bagaimana, kami mendapatkan rumah ini. Sebuah rumah yang bagus di kompleks perumahan yang bagus pula di pinggir kota. Ketika kami mulai mencicil angsuran pembeliannya, sebuah danau kecil sedang dibangun di dekat rumah kami. Aku masih ingat ketidaksabarannya untuk melihat danau itu selesai.


Setiap orang yang mengunjungi rumah kami selalu berkata enggan pulang. Terkadang kulihat mereka iri dengan keberuntungan kami memiliki rumah yang indah dengan suasana lingkungan yang menyenangkan. Fentilasi udara rumah kami baik. Ya...dia menekankan pada sinar matahari dan udara. Karena itu ketika rumah ini direnovasi ia membuat area terbuka di sisi kiri rumah. Selain untuk menjemur pakaian, area itu bisa digunakan untuk tempat bermain dan piknik kecil. Air minum yang jernih dan mudah, jalur transportasi yang mudah diakses. Sempurna.


Aku tidak terlalu pandai untuk urusan mengatur ruangan, karena itu kuserahkan semua pengaturan rumah padanya. Maka inilah yang kudapat, cat dinding berwarna putih gading untuk tiap kamar tidur, warna merah muda untuk ruang tamu, warna krem untuk ruang makan dan biru untuk dapur, juga kamar mandi.


Ia mengatur ruangan sedemikian rupa. Dapur tertata apik, ruang makan dan ruang keluarga yang nyaman. Ia memajang koleksi buku-bukunya di ruang tamu dengan sofa yang nyaman untuk membaca.


"Itu bukan ruang tamu, tapi perpustakaan. Toh tidak setiap hari ada tamu," begitu katanya.


Dan tentu saja, sudut favoritnya itu. Ia hanya menyekatnya dengan sebuah lemari pajangan yang menegaskan bahwa itu ruangannya. Sejak pertama melihat rumah ini, selain kamar tidur, sudut di dekat jendela besar yang menghadap danau itu bagian rumah favoritnya. Maka ia menempatkan meja kerjanya, keyboard, dan peralatan komputernya di sana. Ada setoples kecil kue kering coklat, sebingkai foto, dan tempat pensil di atasnya. Kalau lagi kambuh sifat melankolisnya, ia bisa duduk di sana berjam-jam. Bahkan sering memaksaku menemaninya duduk diam menatap danau, langit dan bintang. Sebenarnya tidak perlu dipaksa aku juga mau. Duduk diam sambil memeluknya adalah salah satu hal yang paling kusukai. Meskipun tidak ada kata-kata, aku seperti mendengar pernyataan cintanya berkali-kali.


Di musim kemarau, rumah kami akan memberikan kesejukan. Aku juga tidak tahu bagaimana caranya, tapi sinar matahari yang masuk ke dalam rumah sangat sesuai dengan kebutuhan di dalam. Tidak terlalu banyak atau sedikit, melainkan tepat. Ketika musim hujan, rumah itu menjadi demikian indahnya. Seperti rumah dongeng. Tidak akan ada yang kedinginan karena akan selalu ada teh hangat dan kue. Itulah mengapa semua orang betah tinggal di sini. Ini rumah idaman setiap orang. Istri yang cantik, rumah yang nyaman, mobil, pekerjaan yang menjamin, apalagi yang kurang?


Aku meliriknya yang masih nyaman dalam pelukanku dan asyik menatap ke luar. Aku merapatkan pelukanku.


"Kenapa?" tanyanya sambil membalikkan badan.


"Nggak papa," jawabku sambil tersenyum. Tapi tampaknya ia tidak percaya. Ia menggesekkan ujung hidungnya dengan ujung hidungku. Aku tahu ia sedang menggodaku agar aku memberinya jawaban yang memuaskan.


"Ayo bilang," rayunya. Tangan kanannya dilingkarkan di leherku, dan jari-jari tangan kanannya membelai wajahku.


Aku tidak segera menjawabnya, menatapnya dengan segenap hati dan bertanya-tanya bagaimana bisa tersihir dalam matanya yang jernih itu. Ia diam saja ketika kucium lagi.


"Rasanya...rumah ini sudah terlalu sepi kalau untuk kita berdua. Aku ingin dengar suara anak kecil," bisikku di telinganya. Ia tak segera bereaksi. Seolah berpikir tentang sesuatu. Ketika ia menengadahkan wajahnya untuk menatapku, kulihat sedikit rasa cemas tersirat di sana. Kadang ia merasa belum siap. Aku mengecup keningnya lembut.


"Kan ada aku," kataku untuk menenangkannya.


Ia masih diam dan melingkarkan kedua tangannya di leherku. Aku masih menunggunya untuk berkata-kata, tapi sepertinya aku tidak akan mendengarnya bicara; karena lalu ia menciumku lebih lama dari yang sudah kulakukan tadi dan teh-nya sama sekali tidak diminumnya pagi itu.



2 Mei 2008



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan

Di kejauhan Tawamu tersembunyi dibalik kesunyian Petilasan langkahmu tersisa di kala senja tiba Sebuah cerita tentang asa Ada kekuatan tersimpan di rongga dada Mencuri hari-hari yang tidak punya kepastian Ada kelembutan di kedua tangan Melahirkan keajaiban Di kejauhan… Aku melihat seorang perempuan

A journey

Januari 1990, Marabahan-Kalimantan Selatan Matahari sedang bergerak ke arah barat. Gadis kecil berambut ikal itu berlari kecil dengan tongkat pancing di tangan kanannya. Ia berusaha menyeimbangkan langkahnya di pematang bambu yang menghubungkan halaman rumahnya dengan jalanan setapak yang dipisahkan oleh kali kecil. Adik perempuannya yang bermata sipit dan berbadan lebih gemuk mengikutinya dari belakang sambil membawa ember kecil berwarna hitam berisi beberapa ekor ikan sepat. Keduanya hanya mengenakan kaos dalam berwarna putih (yang sekarang penuh dengan noda lumpur) dan celana pendek. “Dik, ayo cepat. Nanti kalau Mama pulang kita belum mandi pasti dimarahin lagi,” kata gadis berambut ikal itu sambil membuka pintu kayu rumahnya dari samping. “Ikannya disembunyikan di mana?” tanya adiknya yang masih berdiri di belakangnya. Kakaknya diam sejenak sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. “Taruh di bawah rumah aja. Nanti kalau Mama sudah pulang kita lepaskan lagi ke kali,” jawab kakakn...

Lady Gray

Frozen Lily is a heart Touched by Grace but lost Chaos in the light by surpriced Flow but stuck.... Aku membuka mataku perlahan. Sedikit sinar keputihan menyilaukan mataku saat kelopak mataku mulai terbuka. Di mana aku?! Langit-langit ruangan ini, warna dindingnya; di mana ini?! Aku berusaha menggerakkan tangan dan kakiku. Tidak bisa! Seolah-olah tubuhku membeku dan lumpuh tanpa kekuatan. Hanya kepalaku saja yang masih dapat kugerakkan. Aku mengitari ruangan tempat aku terbaring dengan mata dan seluruh kekuatanku yang tersisa. Rasanya aku lelah sekali. Ruangan ini nyaris tanpa perabotan. Hanya ada satu kursi dan satu meja di sudut dekat pintu. Ya...hanya itu perabotan yang bisa kulihat. Aku terbaring di atas tempat tidur yang sempit meskipun rasanya nyaman terbaring di sini. Ada banyak jendela besar di ruangan ini. Tapi semua masih tertutup tirai berwarna perak tua. Lampu-lampu kristal melayang-layang di atasku; tidak bergantung di langit-langit. Setiap aku mengalihkan pandangan...