Januari 1990, Marabahan-Kalimantan Selatan
Matahari sedang bergerak ke arah barat. Gadis kecil berambut ikal itu berlari kecil dengan tongkat pancing di tangan kanannya. Ia berusaha menyeimbangkan langkahnya di pematang bambu yang menghubungkan halaman rumahnya dengan jalanan setapak yang dipisahkan oleh kali kecil. Adik perempuannya yang bermata sipit dan berbadan lebih gemuk mengikutinya dari belakang sambil membawa ember kecil berwarna hitam berisi beberapa ekor ikan sepat. Keduanya hanya mengenakan kaos dalam berwarna putih (yang sekarang penuh dengan noda lumpur) dan celana pendek.
“Dik, ayo cepat. Nanti kalau Mama pulang kita belum mandi pasti dimarahin lagi,” kata gadis berambut ikal itu sambil membuka pintu kayu rumahnya dari samping.
“Ikannya disembunyikan di mana?” tanya adiknya yang masih berdiri di belakangnya. Kakaknya diam sejenak sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Taruh di bawah rumah aja. Nanti kalau Mama sudah pulang kita lepaskan lagi ke kali,” jawab kakaknya sambil menunjuk ke arah kolong rumah agar adiknya meletakkan ember berisi ikan itu di sana. Rumah-rumah di Kalimantan biasanya berupa rumah panggung. Beberapa daerah bahkan membiarkan dasar rumahnya itu digenangi air. Mereka percaya bahwa asal mula manusia berawal dari hulu sungai dan air adalah kehidupan.
Rumah gadis kecil ini berupa rumah panggung pendek. Dibuat dari papan. Di sebelah kiri rumah itu hanya ada rumput ilalang yang tingginya 2 meter lebih. Di sebelah kanannya ada rumah tetangganya terpisahkan rumput ilalang yang tinggi. Di halaman depan rumahnya ada sebuah kolam kecil. Air minum dan untuk mandi diambil dari sana. Meski harus diberi tawas dulu dan Ibunya harus hati-hati menyaring airnya agak tidak kotor lagi. Di belakang rumahnya ada kebun kecil tempat Ayahnya menanam kacang panjang, beberapa lombok dan tomat serta memelihara beberapa ekor ayam. Bukan untuk bercocok tanam atau beternak tapi untuk mencukupi kebutuhan makan mereka jika gaji ayahnya kurang. Tidak ada kakus di rumah itu. Di desa itu hanya orang kaya yang punya kamar mandi lengkap dengan kakus. Jadi kalau ia dan keluarganya ingin buang air besar harus menggunakan kali di depan rumahnya. Bahkan Ibunya mencuci baju di sana dan kembali membilasnya dengan air di kolam.
Kedua orang tuanya adalah pegawai kecil di satu-satunya Koperasi Unit Desa (KUD) di Marabahan. Pemilik KUD itu berbadan gemuk besar. Orang-orang biasanya memanggilnya Pak Sarijan. Beliau suka memberi kue-kue kering pada gadis kecil dan adiknya ketika mereka menunggu kedua orangtuanya pulang dari kerja di KUD. Rasanya sangat enak. Ada yang berasa seperti kelapa, ada yang berisi krim merah muda (yang kata orang itu rasa strawberry- meski ia tidak tahu seperti apa buah itu). Ia sangat jarang makan makanan seperti itu. Kedua orang tuanya tidak punya cukup uang untuk membelikan mereka makanan-makanan seperti itu.
Sehari-hari ia berangkat sekolah bersama dengan kedua orangtuanya dan adiknya. Sekolahnya berjarak 3km dari rumahnya dan ia harus menempuh jarak itu setiap hari dengan kakinya yang kecil bersepatu merah muda. Ia melewati KUD tempat orangtuanya bekerja. Adiknya masih terlalu kecil untuk masuk sekolah dasar. Tidak ada TK di sana. Maka adiknya akan bersama orangtuanya di KUD sampai gadis kecil ini pulang sekolah dan menjemputnya lalu pulang bersama-sama ke rumah dan menunggu sampai kedua orangtuanya pulang jam 5 sore.
Jalanan menuju sekolahnya berupa tanah kering pecah-pecah dan keras. Ia pernah tersandung batu dan terjatuh di tanah itu. Ia harus menahan sakit dan tangisnya sepanjang perjalanan pulang karena lututnya berdarah. Jika musim hujan tiba jalan tanah itu berubah menjadi genangan lumpur liat. Ia harus membuka sepatu kesayangannya dan berjalan sambil menenteng sepatu sampai ke rumah. Terkadang ia merasa takut berjalan sendirian di jalan itu. Rumah penduduk sangat jarang terlihat di sepanjang jalan ke sekolahnya. Hanya terlihat ilalang yang mengurungnya dari sisi kiri dan kanan. Belum lagi sinar matahari yang sangat terik jika ia pulang sekolah.
Rumah teman-temannya tidak searah dengannya. Kalaupun ada biasanya mereka diantar ayah atau ibunya dengan sepeda kayuh. Orangtuanya tidak punya sepeda kayuh. Kadang ayahnya harus meminjam sepeda motor dari pemilik KUD jika mereka mengunjungi saudara ayahnya di Banjarmasin.
Hidup di desa ini lebih menyenangkan dibandingkan di desanya yang terdahulu; Kalahien-Kalimantan Tengah. Di sini tidak ada sepupu-sepupunya yang usil dan selalu mengganggunya belajar. Tidak ada tante atau Dueh[1] yang selalu bicara dengan nada tinggi dan suara yang keras. Ibunya juga jadi tidak sering memukulnya sekarang meskipun masih tetap menyuruhnya belajar berjam-jam dan memberinya PR berlembar-lembar. Ia juga sudah jarang terbangun tengah malam karena mendengar Ibunya menangis diam-diam sambil berdoa saat semua orang telah tertidur. Di sini lebih baik meskipun Ibunya sering bilang padanya lebih baik ia besar di Jawa. Di mana itu Jawa? Bagaimana caranya ke sana?!
“Hari ini belajar apa di sekolah?” tanya ayah gadis kecil berambut ikal itu saat mereka makamn malam dengan lauk ikan asin dan sayur kacang.
“Tadi Pak Guru nyuruh temen-temen nulis kata pantai, kerbau, dan hijau di papan. Nggak ada yang bisa. Coba kalau aku yang disuruh,” jawab gadis kecil itu dengan mulut penuh dengan nasi.
“Memangnya bisa?” sahut Ibunya.
“Bisa. Malah waktu istirahat aku ngajarin temen-temen nulis kata-kata itu. Pak Guru sih nggak mau tunjuk aku ke depan padahal aku udah tunjuk jari sampai tanganku capek,” jawabnya lagi sambil memperlihatkan raut wajah kesal karena teringat tadi acungan jarinya tidak digubris oleh Guru Bahasa Indonesianya.
“Tadi aku dikejar angsa sampai kakiku dipatuk. Trus aku nangis sambil teriak-teriak. Besok-besok aku nggak mau dekat-dekat angsa. Angsanya nakal suka gigit padahal tadi aku cuma mau nangkap mereka,” sela adiknya yang merasa tidak ditanya apa-apa dari tadi.
“Ya jelas gigit, kamu nakal duluan,” sahut gadis kecil itu.
“Angsanya aja yang jahat suka gigit orang,” balas adiknya tak mau kalah. Lalu bertengkarlah kedua saudara itu dengan mulut penuh nasi.
***
Bandara Syamsudin Noor-Banjarmasin, akhir Maret 1990
Jam kecil di tangannya menunjukkan pukul 2 siang. Gadis kecil berambut ikal itu menarik-narik rok Ibunya.
“Ma, kita naik apa ke Jawa?”
“Naik itu,” jawab Ibunya sambil menunjuk sebuah benda besar bersayap di tengah-tengah lapangan; pesawat. Adiknya yang sudah dari tadi menempelkan wajahnya di kaca jendela tertawa-tawa sendiri. Girang membayangkan dirinya terbang seperti burung-burung.
“Trus ketemu sama Papa kapan? Katanya Papa sudah di Jawa?” tanyanya lagi.
“Nanti jam 5 sore pasti sudah ketemu Papa.”
Di pesawat gadis kecil itu tidak bisa mengalihkan pandangannya dari gugusan awan putih di luar. Baru kali ini ia begitu dekat dengan langit dan matahari. Awan-awan itu seperti terbang mengikutinya. Mungkin itulah kali pertama ia jatuh cinta pada Langit. Ibunya yang duduk di sampingnya berusaha menenangkan adiknya yang sudah tidak betah duduk di kursinya.
“Aku pengen pipis,” akhirnya ia mengaku.
***
Surabaya, Februari 1992
Gadis kecil itu mulai tumbuh besar. Kulitnya tidak sehitam dulu lagi. Matahari di kota besar ini tidak segarang di desa kecilnya dulu. Adiknya masih tetap sama seperti dulu. Suka mengajaknya bertengkar, suka mengenakan kaos dalam dan celana pendek ditambah hobi barunya; makan. Ia tinggal dengan Eyang-nya kini. Ayahnya bekerja di sebuah Bank kecil. Namun masih saja ia merasa tidak bebas. Hidup dengan Eyangnya berisi banyak peraturan.
Rutinitasnya sehari-hari masih sama. Bangun pagi jam 5.30. Mandi lalu berangkat ke sekolah. Ia tidak pernah mendapat uang saku. Sejak masih di Kalimantan pun ia tidak pernah diberi uang saku. Tapi sekarang ia punya Om, Tante, Bu Dhe, Pak Dhe atau orang-orang yang mengaku saudara Ibunya yang sering memberinya mainan atau barang-barang bagus. Ayahnya selalu mengingatkan, jangan pernah meminta apapun dari orang lain selama itu masih bisa didapatkan dengan usahamu sendiri. Orang lain boleh simpati dan iba tapi jangan biarkan mereka mengasihani kita; dan sesuatu yang bagus selalu membutuhkan pengorbanan dan usaha yang lebih besar.
Ibunya sudah tidak pernah memukulnya lagi sekarang. Tapi gadis kecil ini masih tetap harus berhadapan dengan tumpukan buku dan PR sehabis sekolah. Karena itu ia harus bisa membagi waktunya jika ia ingin bersepeda keliling kompleks sore harinya. Meskipun waktu berjalan dan membawa banyak perubahan akan tetap ada hal-hal yang tidak berubah.
***
Genteng-Banyuwangi, September 1999
Ia bukan lagi gadis kecil berambut ikal yang selalu diikat dua lagi. Ia bukan lagi gadis kecil yang bermain dengan ikan sepat dan kupu-kupu. Kini ia seorang gadis yang bermain musik dan menulis puisi. Sejak ia duduk di kelas 4 SD keluarganya pindah ke kota kecil ini. Awalnya mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil. Ibunya mulai memberi uang saku padanya. Sesuatu yang baru untuknya. Tapi ia menyadari banyak hal di sekelilingnya yang ingin dia miliki. Buku, majalah, kaset anak-anak. Ia tidak tega meminta uang tambahan dari kedua orang tuanya. Jadi ia memilih untuk tidak menggunakan uang sakunya. Mengumpulkannya keping demi keping. Dengan demikian ia bisa membeli majalah anak-anak kesukaannya setiap minggu. Sisanya ia kumpulkan lagi untuk membeli buku atau komik kalau ia dan adiknya berlibur ke Surabaya. Toh ayahnya dulu pernah bilang, sesuatu yang bagus perlu usaha yang lebih besar.
Ia banyak menghabiskan waktunya di rumah dengan buku, piano dan pensil. Apalagi sejak ayahnya membangun sebuah rumah untuk mereka sendiri. Ia memiliki kamarnya sendiri. Baginya tidak ada gunanya menghabiskan waktu keluyuran di luar hanya untuk berputar-putar mengelilingi kota. Lagipula tubuhnya mudah capek. Ia memang tidak tahu tentang jalan-jalan tikus di kotanya; ia mungkin saja kehilangan waktu “gaul” dengan teman-teman sebayanya; tapi ia lebih dulu tahu tentang makna hidup, keajaiban jiwa dan pikiran, juga kemisteriusan cinta. Ia bukan gadis kecil berambut ikal yang bermain di bawah terik matahari lagi. Kini ia gadis yang ingin meraih matahari.
***
Surabaya, Desember 2003
Ia kembali lagi ke kota ini sebagai petualang. Tidak ada Ayah, Ibu atau adiknya yang bisa menghiburnya di saat-saat sedih. Ia harus berjuang sendirian untuk meraih matahari. Tidak ada yang mengenalnya di sini. Eyang atau semua anggota keluarganya yang lain yang tinggal di kota ini hanya mengenalnya sebagai gadis kecil berambut ikal bukan sebagai petualang. Pelajaran di masa lalunya adalah bekal yang ia bawa dalam tas ransel di pundaknya.
Selama ini ia selalu mendapatkan yang terbaik yang bisa ia peroleh. Bukan berarti ia tidak pernah gagal. Bukan berarti ia selalu mendapatkan yang terbaik dari segalanya.
Untuk masuk ke sekolah favoritnya, ia harus mengorbankan waktu bermain dan menonton tv-nya dengan les dan belajar. Untuk mempertahankan prestasinya di jajaran 3 besar di kelas, ia harus membaca buku sampai larut malam. Untuk memahami setiap jengkal jalannya untuk meraih matahari ia rela menghabiskan akhir pekannya untuk menuntaskan tugasnya. Ia rugi karena tidak tahu apa-apa tentang kota ini. Ia rugi karena tidak bisa berlibur dengan teman-temannya di saat akhir semester. Tapi ia selangkah lebih dekat dengan matahari dibandingkan siapapun yang mencoba berhenti di saat gadis ini terus berjalan.
Tidak ada yang sia-sia. Memang. Tergantung apa yang ingin kita capai....dan sesuatu yang memiliki nilai lebih dan indah dibandingkan yang lain membutuhkan lebih banyak keringat, airmata dan pengorbanan untuk mendapatkannya serta menjaganya.
***
17 Juli 2006
[1] Dueh bahasa Dayak untuk Bu Dhe atau Pak Dhe
Matahari sedang bergerak ke arah barat. Gadis kecil berambut ikal itu berlari kecil dengan tongkat pancing di tangan kanannya. Ia berusaha menyeimbangkan langkahnya di pematang bambu yang menghubungkan halaman rumahnya dengan jalanan setapak yang dipisahkan oleh kali kecil. Adik perempuannya yang bermata sipit dan berbadan lebih gemuk mengikutinya dari belakang sambil membawa ember kecil berwarna hitam berisi beberapa ekor ikan sepat. Keduanya hanya mengenakan kaos dalam berwarna putih (yang sekarang penuh dengan noda lumpur) dan celana pendek.
“Dik, ayo cepat. Nanti kalau Mama pulang kita belum mandi pasti dimarahin lagi,” kata gadis berambut ikal itu sambil membuka pintu kayu rumahnya dari samping.
“Ikannya disembunyikan di mana?” tanya adiknya yang masih berdiri di belakangnya. Kakaknya diam sejenak sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Taruh di bawah rumah aja. Nanti kalau Mama sudah pulang kita lepaskan lagi ke kali,” jawab kakaknya sambil menunjuk ke arah kolong rumah agar adiknya meletakkan ember berisi ikan itu di sana. Rumah-rumah di Kalimantan biasanya berupa rumah panggung. Beberapa daerah bahkan membiarkan dasar rumahnya itu digenangi air. Mereka percaya bahwa asal mula manusia berawal dari hulu sungai dan air adalah kehidupan.
Rumah gadis kecil ini berupa rumah panggung pendek. Dibuat dari papan. Di sebelah kiri rumah itu hanya ada rumput ilalang yang tingginya 2 meter lebih. Di sebelah kanannya ada rumah tetangganya terpisahkan rumput ilalang yang tinggi. Di halaman depan rumahnya ada sebuah kolam kecil. Air minum dan untuk mandi diambil dari sana. Meski harus diberi tawas dulu dan Ibunya harus hati-hati menyaring airnya agak tidak kotor lagi. Di belakang rumahnya ada kebun kecil tempat Ayahnya menanam kacang panjang, beberapa lombok dan tomat serta memelihara beberapa ekor ayam. Bukan untuk bercocok tanam atau beternak tapi untuk mencukupi kebutuhan makan mereka jika gaji ayahnya kurang. Tidak ada kakus di rumah itu. Di desa itu hanya orang kaya yang punya kamar mandi lengkap dengan kakus. Jadi kalau ia dan keluarganya ingin buang air besar harus menggunakan kali di depan rumahnya. Bahkan Ibunya mencuci baju di sana dan kembali membilasnya dengan air di kolam.
Kedua orang tuanya adalah pegawai kecil di satu-satunya Koperasi Unit Desa (KUD) di Marabahan. Pemilik KUD itu berbadan gemuk besar. Orang-orang biasanya memanggilnya Pak Sarijan. Beliau suka memberi kue-kue kering pada gadis kecil dan adiknya ketika mereka menunggu kedua orangtuanya pulang dari kerja di KUD. Rasanya sangat enak. Ada yang berasa seperti kelapa, ada yang berisi krim merah muda (yang kata orang itu rasa strawberry- meski ia tidak tahu seperti apa buah itu). Ia sangat jarang makan makanan seperti itu. Kedua orang tuanya tidak punya cukup uang untuk membelikan mereka makanan-makanan seperti itu.
Sehari-hari ia berangkat sekolah bersama dengan kedua orangtuanya dan adiknya. Sekolahnya berjarak 3km dari rumahnya dan ia harus menempuh jarak itu setiap hari dengan kakinya yang kecil bersepatu merah muda. Ia melewati KUD tempat orangtuanya bekerja. Adiknya masih terlalu kecil untuk masuk sekolah dasar. Tidak ada TK di sana. Maka adiknya akan bersama orangtuanya di KUD sampai gadis kecil ini pulang sekolah dan menjemputnya lalu pulang bersama-sama ke rumah dan menunggu sampai kedua orangtuanya pulang jam 5 sore.
Jalanan menuju sekolahnya berupa tanah kering pecah-pecah dan keras. Ia pernah tersandung batu dan terjatuh di tanah itu. Ia harus menahan sakit dan tangisnya sepanjang perjalanan pulang karena lututnya berdarah. Jika musim hujan tiba jalan tanah itu berubah menjadi genangan lumpur liat. Ia harus membuka sepatu kesayangannya dan berjalan sambil menenteng sepatu sampai ke rumah. Terkadang ia merasa takut berjalan sendirian di jalan itu. Rumah penduduk sangat jarang terlihat di sepanjang jalan ke sekolahnya. Hanya terlihat ilalang yang mengurungnya dari sisi kiri dan kanan. Belum lagi sinar matahari yang sangat terik jika ia pulang sekolah.
Rumah teman-temannya tidak searah dengannya. Kalaupun ada biasanya mereka diantar ayah atau ibunya dengan sepeda kayuh. Orangtuanya tidak punya sepeda kayuh. Kadang ayahnya harus meminjam sepeda motor dari pemilik KUD jika mereka mengunjungi saudara ayahnya di Banjarmasin.
Hidup di desa ini lebih menyenangkan dibandingkan di desanya yang terdahulu; Kalahien-Kalimantan Tengah. Di sini tidak ada sepupu-sepupunya yang usil dan selalu mengganggunya belajar. Tidak ada tante atau Dueh[1] yang selalu bicara dengan nada tinggi dan suara yang keras. Ibunya juga jadi tidak sering memukulnya sekarang meskipun masih tetap menyuruhnya belajar berjam-jam dan memberinya PR berlembar-lembar. Ia juga sudah jarang terbangun tengah malam karena mendengar Ibunya menangis diam-diam sambil berdoa saat semua orang telah tertidur. Di sini lebih baik meskipun Ibunya sering bilang padanya lebih baik ia besar di Jawa. Di mana itu Jawa? Bagaimana caranya ke sana?!
“Hari ini belajar apa di sekolah?” tanya ayah gadis kecil berambut ikal itu saat mereka makamn malam dengan lauk ikan asin dan sayur kacang.
“Tadi Pak Guru nyuruh temen-temen nulis kata pantai, kerbau, dan hijau di papan. Nggak ada yang bisa. Coba kalau aku yang disuruh,” jawab gadis kecil itu dengan mulut penuh dengan nasi.
“Memangnya bisa?” sahut Ibunya.
“Bisa. Malah waktu istirahat aku ngajarin temen-temen nulis kata-kata itu. Pak Guru sih nggak mau tunjuk aku ke depan padahal aku udah tunjuk jari sampai tanganku capek,” jawabnya lagi sambil memperlihatkan raut wajah kesal karena teringat tadi acungan jarinya tidak digubris oleh Guru Bahasa Indonesianya.
“Tadi aku dikejar angsa sampai kakiku dipatuk. Trus aku nangis sambil teriak-teriak. Besok-besok aku nggak mau dekat-dekat angsa. Angsanya nakal suka gigit padahal tadi aku cuma mau nangkap mereka,” sela adiknya yang merasa tidak ditanya apa-apa dari tadi.
“Ya jelas gigit, kamu nakal duluan,” sahut gadis kecil itu.
“Angsanya aja yang jahat suka gigit orang,” balas adiknya tak mau kalah. Lalu bertengkarlah kedua saudara itu dengan mulut penuh nasi.
***
Bandara Syamsudin Noor-Banjarmasin, akhir Maret 1990
Jam kecil di tangannya menunjukkan pukul 2 siang. Gadis kecil berambut ikal itu menarik-narik rok Ibunya.
“Ma, kita naik apa ke Jawa?”
“Naik itu,” jawab Ibunya sambil menunjuk sebuah benda besar bersayap di tengah-tengah lapangan; pesawat. Adiknya yang sudah dari tadi menempelkan wajahnya di kaca jendela tertawa-tawa sendiri. Girang membayangkan dirinya terbang seperti burung-burung.
“Trus ketemu sama Papa kapan? Katanya Papa sudah di Jawa?” tanyanya lagi.
“Nanti jam 5 sore pasti sudah ketemu Papa.”
Di pesawat gadis kecil itu tidak bisa mengalihkan pandangannya dari gugusan awan putih di luar. Baru kali ini ia begitu dekat dengan langit dan matahari. Awan-awan itu seperti terbang mengikutinya. Mungkin itulah kali pertama ia jatuh cinta pada Langit. Ibunya yang duduk di sampingnya berusaha menenangkan adiknya yang sudah tidak betah duduk di kursinya.
“Aku pengen pipis,” akhirnya ia mengaku.
***
Surabaya, Februari 1992
Gadis kecil itu mulai tumbuh besar. Kulitnya tidak sehitam dulu lagi. Matahari di kota besar ini tidak segarang di desa kecilnya dulu. Adiknya masih tetap sama seperti dulu. Suka mengajaknya bertengkar, suka mengenakan kaos dalam dan celana pendek ditambah hobi barunya; makan. Ia tinggal dengan Eyang-nya kini. Ayahnya bekerja di sebuah Bank kecil. Namun masih saja ia merasa tidak bebas. Hidup dengan Eyangnya berisi banyak peraturan.
Rutinitasnya sehari-hari masih sama. Bangun pagi jam 5.30. Mandi lalu berangkat ke sekolah. Ia tidak pernah mendapat uang saku. Sejak masih di Kalimantan pun ia tidak pernah diberi uang saku. Tapi sekarang ia punya Om, Tante, Bu Dhe, Pak Dhe atau orang-orang yang mengaku saudara Ibunya yang sering memberinya mainan atau barang-barang bagus. Ayahnya selalu mengingatkan, jangan pernah meminta apapun dari orang lain selama itu masih bisa didapatkan dengan usahamu sendiri. Orang lain boleh simpati dan iba tapi jangan biarkan mereka mengasihani kita; dan sesuatu yang bagus selalu membutuhkan pengorbanan dan usaha yang lebih besar.
Ibunya sudah tidak pernah memukulnya lagi sekarang. Tapi gadis kecil ini masih tetap harus berhadapan dengan tumpukan buku dan PR sehabis sekolah. Karena itu ia harus bisa membagi waktunya jika ia ingin bersepeda keliling kompleks sore harinya. Meskipun waktu berjalan dan membawa banyak perubahan akan tetap ada hal-hal yang tidak berubah.
***
Genteng-Banyuwangi, September 1999
Ia bukan lagi gadis kecil berambut ikal yang selalu diikat dua lagi. Ia bukan lagi gadis kecil yang bermain dengan ikan sepat dan kupu-kupu. Kini ia seorang gadis yang bermain musik dan menulis puisi. Sejak ia duduk di kelas 4 SD keluarganya pindah ke kota kecil ini. Awalnya mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil. Ibunya mulai memberi uang saku padanya. Sesuatu yang baru untuknya. Tapi ia menyadari banyak hal di sekelilingnya yang ingin dia miliki. Buku, majalah, kaset anak-anak. Ia tidak tega meminta uang tambahan dari kedua orang tuanya. Jadi ia memilih untuk tidak menggunakan uang sakunya. Mengumpulkannya keping demi keping. Dengan demikian ia bisa membeli majalah anak-anak kesukaannya setiap minggu. Sisanya ia kumpulkan lagi untuk membeli buku atau komik kalau ia dan adiknya berlibur ke Surabaya. Toh ayahnya dulu pernah bilang, sesuatu yang bagus perlu usaha yang lebih besar.
Ia banyak menghabiskan waktunya di rumah dengan buku, piano dan pensil. Apalagi sejak ayahnya membangun sebuah rumah untuk mereka sendiri. Ia memiliki kamarnya sendiri. Baginya tidak ada gunanya menghabiskan waktu keluyuran di luar hanya untuk berputar-putar mengelilingi kota. Lagipula tubuhnya mudah capek. Ia memang tidak tahu tentang jalan-jalan tikus di kotanya; ia mungkin saja kehilangan waktu “gaul” dengan teman-teman sebayanya; tapi ia lebih dulu tahu tentang makna hidup, keajaiban jiwa dan pikiran, juga kemisteriusan cinta. Ia bukan gadis kecil berambut ikal yang bermain di bawah terik matahari lagi. Kini ia gadis yang ingin meraih matahari.
***
Surabaya, Desember 2003
Ia kembali lagi ke kota ini sebagai petualang. Tidak ada Ayah, Ibu atau adiknya yang bisa menghiburnya di saat-saat sedih. Ia harus berjuang sendirian untuk meraih matahari. Tidak ada yang mengenalnya di sini. Eyang atau semua anggota keluarganya yang lain yang tinggal di kota ini hanya mengenalnya sebagai gadis kecil berambut ikal bukan sebagai petualang. Pelajaran di masa lalunya adalah bekal yang ia bawa dalam tas ransel di pundaknya.
Selama ini ia selalu mendapatkan yang terbaik yang bisa ia peroleh. Bukan berarti ia tidak pernah gagal. Bukan berarti ia selalu mendapatkan yang terbaik dari segalanya.
Untuk masuk ke sekolah favoritnya, ia harus mengorbankan waktu bermain dan menonton tv-nya dengan les dan belajar. Untuk mempertahankan prestasinya di jajaran 3 besar di kelas, ia harus membaca buku sampai larut malam. Untuk memahami setiap jengkal jalannya untuk meraih matahari ia rela menghabiskan akhir pekannya untuk menuntaskan tugasnya. Ia rugi karena tidak tahu apa-apa tentang kota ini. Ia rugi karena tidak bisa berlibur dengan teman-temannya di saat akhir semester. Tapi ia selangkah lebih dekat dengan matahari dibandingkan siapapun yang mencoba berhenti di saat gadis ini terus berjalan.
Tidak ada yang sia-sia. Memang. Tergantung apa yang ingin kita capai....dan sesuatu yang memiliki nilai lebih dan indah dibandingkan yang lain membutuhkan lebih banyak keringat, airmata dan pengorbanan untuk mendapatkannya serta menjaganya.
***
17 Juli 2006
[1] Dueh bahasa Dayak untuk Bu Dhe atau Pak Dhe
Komentar
Posting Komentar