Frozen Lily is a heart
Touched by Grace but lost
Chaos in the light by surpriced
Flow but stuck....
Aku membuka mataku perlahan. Sedikit sinar keputihan menyilaukan mataku saat kelopak mataku mulai terbuka. Di mana aku?! Langit-langit ruangan ini, warna dindingnya; di mana ini?! Aku berusaha menggerakkan tangan dan kakiku. Tidak bisa! Seolah-olah tubuhku membeku dan lumpuh tanpa kekuatan. Hanya kepalaku saja yang masih dapat kugerakkan. Aku mengitari ruangan tempat aku terbaring dengan mata dan seluruh kekuatanku yang tersisa. Rasanya aku lelah sekali.
Ruangan ini nyaris tanpa perabotan. Hanya ada satu kursi dan satu meja di sudut dekat pintu. Ya...hanya itu perabotan yang bisa kulihat. Aku terbaring di atas tempat tidur yang sempit meskipun rasanya nyaman terbaring di sini. Ada banyak jendela besar di ruangan ini. Tapi semua masih tertutup tirai berwarna perak tua. Lampu-lampu kristal melayang-layang di atasku; tidak bergantung di langit-langit. Setiap aku mengalihkan pandangan akan ada satu kristal kecil bercahaya yang mengikuti arah pandanganku. Seolah-olah ingin menerangi penglihatanku. Semuanya aneh dan berwarna abu-abu. Abu-abu....
Jangan-jangan ini adalah....
Pintu kamarku terbuka pelan. Masih dengan pandanganku yang terbatas aku berusaha mengenali siapa orang yang masuk ke ruanganku. Seorang wanita anggun bergaun abu-abu tua melenggang perlahan ke arahku. Seketika ruangan ini dipenuhi kesegaran pinus dan air hujan. Ia tersenyum ke arahku. Lampu-lampu kristal di atasku bersinar lebih terang saat ia melangkah mendekat. Kulitnya yang putih tampak berkilauan. Matanya berwarna hitam dengan tatapan yang ramah. Namun aku merasa tatapan yang ditujukannya padaku sedang menilai-nilai sesuatu. Kedalaman dan ketenangan tatapannya itu membaca jiwa setiap orang yang sedang berdiri di hadapannya. Rambutnya hitam dan panjang dihiasi mahkota berwarna perak. Sungguh mengagumkan wanita ini. Warna abu-abu yang mengelilingiku terlihat tidak membosankan lagi. Aku merasa pernah bertemu dengannya. Tapi itu sudah lama sekali. Apakah aku kembali di tempat itu?
“Aa...Putri sudah terbangun rupanya,” sapanya lembut saat ia sudah beridiri di sebelahku. Aku mencoba tersenyum. Ia tidak langsung berbicara lagi. Ia mengamat-amati ruangan sebelum pandangannya tertumbuk pada tirai-tirai yang menutupi jendela.
“Bolehkah aku membuka tirai-tirai itu dan membuka jendela agar ruangan ini tidak terasa pengap?” tanyanya meminta ijinku. Aku mengangguk pelan. Ia lalu melangkah ke arah tirai-tirai; membukanya satu persatu. Sinar matahari yang hangat segera memenuhi ruangan. Lampu-lampu kristal itu memadamkan sinarnya. Tapi itu justru membuat ruangan ini semakin indah. Berkas sinar matahari yang menyentuh prisma kristal itu terpecah menjadi pendar pelangi. Saat ia membuka jendela; kesegaran pinus yang ia bawa sejak masuk tadi semakin kuat. Rasanya kekuatanku kembali perlahan.
“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya lagi.
“Aku tidak bisa bergerak” jawabku.
“Berarti belum saatnya, Putri,” sahutnya, “kau masih harus beristirahat.”
“Ini....”
“Kau tidak ingat semua ini?” tanyanya membaca kebingungan yang terlihat di wajahku.
“Samar-samar. Aku hanya tidak terbiasa dengan warna abu-abu yang menyelimuti ruangan ini.”
“Karena inilah area yang paling tidak kau sukai. Area abu-abu...” balasnya. Ia menekan kalimat terakhirnya seolah memberitahuku bahwa itulah jawabannya. Area abu-abu, ulangku dalam hati.
Mataku terbelalak sangat aku kembali mengenali semua ini. Wanita itu lagi-lagi tersenyum. Wanita yang sangat anggun itu hanya menatapku lembut sambil menganggukkan kepalanya. Wanita itu...Lady Gray...
“Bagaimana aku bisa ke tempat ini? Siapa yang mengantarku ke kamar ini?” tanyaku panik. Lady Gray menyentuh keningku dengan tangannya; berusaha menenangkan aku.
“Kau datang sendiri ke tempat ini. Kau mengetuk pintu gerbang kota lalu tak sadarkan diri. Penjaga pintu gerbang yang mengantarkanmu ke sini.”
“Harusnya aku tidak di sini, Lady.”
“Setiap orang yang masuk ke kota ini tidak pernah datang tanpa tujuan, meskipun seringkali mereka tidak menyadari tujuan mereka datang ke tempat ini. Kau sudah berkali-kali ke kota ini.”
“Tapi tidak di ruangan ini,” ralatku.
“Ada saatnya luka membawamu kepadaku, Putri.”
Aku terdiam. Semuanya membingungkan.
“Ayahmu mengirimmu ke Kota Pelangi lagi, Putri?” tanyanya memecah kebisuanku. Aku mengangguk.
“Semuanya terasa membingungkan lagi bagimu?”
“Bukankah kota itu memang dipenuhi dengan berbagai macam keanehan yang bisa membuat semua orang kebingungan?! Bahkan aku yang sudah berlatih dan belajar untuk memasukinya tidak pernah bisa sampai ke ujung kota. Tahu-tahu aku sudah tergeletak di Kota-mu ini , Lady.”
Lady Gray tertawa kecil mendengar perkataanku.
“Kota Pelangi tidak seaneh itu. Hanya saja, ujung kota itu bisa dicapai dengan langkah yang tepat. Tidak terlalu pelan tapi tidak terlalu cepat. Kau juga harus membuat seluruh indramu merasakan semua sensasi yang dikirimkan padamu. Terutama indra yang tidak terlihat mata manusia. Aku dan kota ini ada di tiap hentakan kaki kalian. Di saat kalian terlalu pelan atau cepat melangkah, maka pintu gerbang kotaku akan terbuka. Terutama bagi mereka yang tidak menyadari bahwa langkah mereka salah. Dengan sendirinya mereka akan masuk ke kotaku. Tapi seringkali kalian tidak tahu bahwa kalian sudah ada di kotaku dengan satu tujuan. Kadangkala kalian menolak untuk masuk dan memaksa tetap menjelajahi Kota Pelangi. Kalian sudah nyaris mati saat kutemukan di gerbang kota dan itu berarti kalian harus tinggal lebih lama di kota ini.” Ia berhenti sejenak dan menatapku lagi.
“Aku senang kau datang sendiri ke kota ini. Kali ini apa yang Ayah-mu kehendaki sampai mengirimmu ke Kota Pelangi?” tanyanya padaku. Aku memalingkan wajahku ke arah jendela. Aku bisa melihat bebukitan hijau dari kejauhan. Awan tipis melayang-layang di antara permainan angin dan langit biru cerah.
“Kasih & cinta...,” gumamku.
“Aa...hadiah yang sudah lama kau nantikan, bukan?”
“Hadiah yang membuatku tergeletak di kota-mu, Lady.” Ia tergelak lagi mendengar ucapanku. Aku mendengus kesal. Aku masih ingat dengan jelas, kali pertama aku terkapar tidak berdaya di kamar abu-abu ini juga karena hadiah itu. Bukan pengalaman yang menyenangkan berada di kamar ini.
“Kau jatuh cinta kali ini?” tanya Lady, “benar-benar jatuh cinta maksudku,” tambahnya. “Terakhir kali kau di ruangan ini kau jatuh cinta dengan kepingan-kepingan hati. Butuh waktu lama bagi kita saat itu untuk menyembuhkanmu.”
“Iya aku masih ingat. Kali ini benar-benar jatuh cinta,” jawabku pelan. Lady memejamkan matanya sejenak.
“Lalu, apa yang membuatmu mengetuk pintu gerbang Kota-ku?”
Aku terdiam. Enggan rasanya kujawab pertanyaannya kali ini.
“Kau belum siap menjawab kurasa. Istirahatlah lagi. Ada satu orang lagi yang harus kukunjungi. Setelah mengunjunginya, aku akan berbincang lagi denganmu.” Lady menggenggam tangan kiriku. Kurasakan kehangatan mengalir melalui tangannya. Perlahan aku bisa merasakan tangan dan kakiku. Aku dapat bergerak lagi.
“Berjalan-jalanlah ke taman kalau kau mau. Kau sudah mengenal Istana dengan baik. Aku akan kembali di saat yang tepat.” Ia mencium keningku sekilas lalu melangkah pergi meninggalkanku sendiri.
Sepeninggalnya aku berusaha duduk di tempat tidurku. Aku mengerang kecil saat kurasakan sakit di sekitar dadaku. Aku merabanya dan kurasakan ada perban yang membalutnya. Terluka di tempat yang sama lagi.
Susah payah akhirnya aku bisa turun dari tempat tidur. Berjalan pelan ke arah balkon. Udara sejuk menerpaku saat kuhirup dalam-dalam kesegaran pinus yang ditinggalkan Lady Gray di kamarku ini. Dari ketinggian tempat aku berdiri aku bisa melihat seluruh kota. Kota yang sering kudatangi namun masih merupakan misteri buatku. Kota Keheningan.
Tidak ada yang tahu di mana letak kota ini. Kota ini seperti kota hantu. Ia datang dan pergi begitu saja. Banyak orang yang pernah singgah ke Kota Keheningan mengatakan kota ini sangat aneh dan tidak menyenangkan. Tapi bagiku Kota Pelangi lebih aneh daripada kota ini.
Kota ini memiliki langit yang berubah-ubah setiap saat; sesuai dengan suasana hatimu. Setiap orang tidak akan memiliki pengalaman yang sama saat menatap langit di kota ini meskipun ia sedang melihatnya bersamaan dengan engkau. Kota ini ada bagi orang-orang yang tersesat dan kelelahan. Kota ini adalah kota peristirahatan.
Aku sering datang ke kota ini. Terutama jika aku harus menghadapi ujian yang disiapkan oleh Ayahandaku. Aku tidak tahu bagaimana caranya masuk ke kota ini. Di saat aku mulai merasa kebingungan dan lelah, tiba-tiba saja aku sudah berada di dalam kota ini. Seperti yang dikatakan Lady Gray, semuanya terjadi dengan sendirinya.
Jika suatu kali kau tiba di Kota ini, kau harus terbiasa dengan kesendirian dan keheningan yang menyelimuti kota ini. Tidak ada seorangpun yang kau temui sebelum kau terbiasa dengan suasana hening itu. Mengosongkan diri untuk merasa penuh. Kadang aku merasa kehidupan di kota ini berjalan terbalik dengan kehidupan di dunia tempat aku tinggal. Apapun yang kau rasakan di dalam hati harus kau rasakan seluruhnya dengan ketulusan dan seluruh kekuatanmu. Penyangkalan akan membuatmu tertahan lebih lama di kota ini. Perlawanan akan menciptakan luka-luka baru.
Kau boleh melakukan melakukan apapun yang ingin kau perbuat untuk membebaskan diri; asal jangan kedua hal di atas. Menangislah, berteriaklah sekeras-kerasnya, bahkan marah. Tidak ada yang melarangmu. Tidak ada yang akan mendengarkan atau melihat semua itu sampai kau selesai dengan dirimu sendiri. Setelah semua itu kau rasakan dengan sungguh-sungguh, maka kota itu akan memperkenalkanmu dengan hal-hal indah di dalamnya.
Seringkali aku bertemu dengan orang-orang yang tidak menyadari bahwa mereka telah singgah di Kota Keheningan. Banyak orang dalam kehidupannya tidak menyadari bahwa mereka tertahan di Kota ini. Banyak orang yang menyangkal dan tidak mau tahu tentang keberadaan Kota ini. Terkadang saat mereka berada di kota ini, mereka tidak mau menikmati keindahannya. Bagi mereka berada di Kota ini adalah sebuah kesia-siaan hidup. Menunjukkan ketidak berdayaan dan keinginan untuk dikasihani. Semakin cepat mereka pergi dari kota ini semakin baik. Memang; selama petualanganmu di kota ini kau jalani dengan baik dan benar. Kadangkala mereka pergi sebelum waktunya. Luka-luka mereka masih basah dan merah. Mereka pergi dengan membodohi diri sendiri. Tunggu saja beberapa waktu; mereka akan kembali ke kota ini dengan sejumlah luka baru dan lebih parah. Kadang mereka telah menjadi mayat hidup saat ditemukan penjaga pintu gerbang. Aku pernah diketemukan dalam keadaan demikian. Itulah kali pertama aku bertemu dengan Lady Gray di Istana Perak.
Aku memandang kesibukan kota dari balkon tempatku berdiri. Istana Perak berada di atas bukit tertinggi di Kota Keheningan. Keindahan istana ini tidak terkatakan. Tapi jangan bangga jika kau berada di dalamnya. Jika kau menemukan dirimu terbaring di salah satu kamar di Istana ini- bertemu dengan Lady Gray -itu menandakan kau tersesat dalam perjalananmu di Kota Pelangi. Kemungkinan besar luka yang kau derita sangatlah parah. Kemungkinan yang lain adalah petualangan yang menantimu di Kota Pelangi benar-benar luar biasa sehingga kau harus belajar dengan Lady Gray. Itulah alasan aku panik ketika aku menyadari bahwa aku terbaring di salah satu kamar di istana ini. Ada apa denganku?!
Lady Gray membuka pintu kamar berwarna biru keperakan dengan perlahan. Segera saja dilihatnya seorang pemuda yang melamun di tepi jendela. Pemuda itu memalingkan wajahnya ke arah Lady Gray saat ia melangkah mendekatinya. Matanya yang hitam itu membaca adanya kebingungan besar dalam hati pemuda itu.
“Selamat pagi, Pangeran. Bagaimana keadaanmu?” tanyanya lembut.
“Baik. Itulah mengapa aku tidak mengerti mengapa aku bisa berada di tempat yang mirip dengan Rumah Sakit ini,” sahutnya setengah menggerutu. Lady Gray tertawa kecil saat istananya dikatakan mirip rumah sakit oleh pemuda yang dipanggilnya Pangeran itu.
“Duduklah...,” kata Lady sambil mengayunkan tangannya mempersilahkan pemuda itu untuk duduk di kursi di sampingnya. Ia telah duduk terlebih dahulu. Pemuda itu menurutinya tanpa protes.
“Kau tahu di mana kau berada, Pangeran?”
“Sama sekali tidak,” sahut pemuda itu cepat.
“Aa...kurasa tidak sepenuhnya demikian. Kau sudah beberapa kali ke kota ini, meskipun tidak terlalu menyukai tempat ini dan selalu pergi lebih cepat daripada yang seharusnya.”
“Bisa kupastikan aku belum pernah ke kota ini,” sangkalnya.
“Baiklah, kita akan menyegarkan kembali ingatanmu. Pernahkah kau duduk di tepi jendela kamarmu, menatap langit malam dan mendengarkan detak jantungmu sendiri?”
“Tentu saja pernah.”
“Pernahkah kau merasa bingung karena suatu malam pikiran dan hatimu terasa penuh beban tanpa kau mengerti penyebabnya, membuatmu tidak bisa tidur dan terjaga semalaman?”
“Kadang-kadang.”
“...dan pernahkah sesekali dalam hidupmu kau merasa sebuah masalah mengambil seluruh energi kehidupanmu sehingga membuatmu ingin pergi ke tempat yang jauh dari keramaian?”
“Ya.”
“Itulah saat-saat kau datang ke kota ini. Kota Keheningan.” Pemuda itu terdiam. Ia menatap wajah Lady Gray dengan tanda tanya.
“Tapi bagaimana bisa aku tidak mengenali tempat ini?” tanyanya. Lady Gray kembali tersenyum. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar pertanyaan seperti itu.
“Karena kau tidak menghayati sepenuhnya saat kau berada di tempat ini.”
Lady Gray bangkit berdiri dan berjalan ke arah jendela yang tertutup. Ia membuka jendela itu perlahan. Ruangan itu dipenuhi dengan keharuman bunga-bunga musim semi. Ya...setiap orang akan memiliki pengalaman yang berbeda di tempat ini meskipun ia bertemu dengan hal yang serupa.
“Kalian...manusia...adalah ras yang menggelikan dan sering membuatku keheranan. Di saat kalian kelelahan kalian justru mempercepat langkah bukannya beristirahat. Di saat kalian tersesat kalian justru berlari ke sana ke mari bukannya berhenti sejenak dan melihat kompas. Di saat kalian terluka kalian justru berperang bukannya menyembuhkan diri terlebih dahulu. Meskipun kalian datang dan beristirahat di kota-ku; aku tidak bisa melarang kalian untuk pergi meskipun aku tahu belum saatnya kalian pergi. Kau adalah salah satu dari sekian banyak orang yang demikian, Pangeran.”
“Aku?”
“Ya. Siapakah dirimu?”
“Apa maksudmu?” tanya pemuda itu semakin kebingungan.
“Apa yang kau rasakan sekarang?” tanya Lady Gray seolah tidak menggubris kebingungan pemuda itu.
“Aku tidak mengerti apa yang kau tanyakan.”
“Tepat sekali. Kau tidak mengerti apa yang aku tanyakan. Itulah tujuan setiap orang yang berada di tempat ini. Untuk memahami sesuatu. Tapi kebanyakan orang sudah pergi dari kota ini sebelum mereka benar-benar memahami apa yang sedang mereka rasakan, ke mana arah tujuan langkah mereka dan apa yang harus mereka lakukan dengan kehidupan mereka sendiri.
Bagi mereka sudah cukup berpikir bahwa semua masalah bisa di atasi. Memang benar. Tapi adakah sesuatu yang bisa kau pahami dari masalah itu? Seringkali jawabannya tidak. Saat kalian sedih, kalian bersedih dengan tertawa. Saat kalian gembira justru kalian menangis kehilangan. Menyembunyikan kebenaran sejati dari hatimu membuatmu lebih cepat mati. Mengapa kau ada di tempat ini, Pangeran?”
“Itu pertanyaan yang ingin kuajukan padamu.”
“Aku tidak akan menjawab apapun sebelum kau berusaha menjawabnya terlebih dahulu. Mulailah dengan pertanyaan apa yang sedang kau rasakan sekarang dalam hatimu. Aku akan meninggalkanmu seorang diri,” sahut Lady Gray seraya melangkah pergi meninggalkan sejuta tanda tanya di benak pemuda itu.
Aku sedang menyisir rambutku saat Lady Gray datang lagi ke kamarku. Aku menyambutnya dengan senyuman. Ia tidak mengenakan gaun abu-abu tua lagi. Ia mengganti gaunnya dengan gaun berwarna putih gading. Agak terlihat pucat bagiku meskipun ia tetap saja cantik.
“Keadaanmu lebih baik kulihat,” katanya padaku seraya mencium pipiku
“Kurasa begitu,” sahutku sambil menuntaskan ikatan rambutku. Matahari sedang merangkak ke tenggara. Sebentar lagi senja tiba. Jangan tanyakan bagaimana senja di Kota ini. Kau tidak akan pernah menemukan kata-kata untuk melukiskan keindahannya.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Putri?” tanyanya membuka pembicaraan.
“Aku masih harus menemukan jawabannya di sini, Lady. Yang aku tahu semua yang kukenal, kumiliki, kupelajari dan kulakukan berubah.”
“Sekali lagi Kota Pelangi membuatmu demikian.” Ganti aku yang tertawa mendengar ucapannya.
“Ya, kurasa memang begitu.”
“Kau kehilangan arah?”
“Sejujurnya, ya. Aku kehilangan arah. Aku tidak mengerti apa yang sedang kulakukan, apa yang ingin kulakukan dan mengapa aku harus melakukannya. Semuanya terasa tidak berada pada tempat yang seharusnya. Sekali lagi aku tidak mengenali diriku sendiri.”
“Karena cinta?” tebaknya.
“Bukankah semua penyebab kehidupan adalah cinta?” Ia menganggukkan kepalanya.
“Siapa Pangeran ini?” tanyanya ingin tahu.
“Seorang Pangeran yang berasal dari tempat yang berbeda denganku. Kadang-kadang aku heran mengapa Ayahanda mempertemukanku dengannya untuk menjelajah Kota Pelangi.”
“Bukankah kali ini akhirnya kau bertemu dengan pasangan yang sebanding denganmu.”
“Harus kuakui, iya. Meskipun kadang-kadang aku tidak bisa mengerti apa yang sedang ia pikirkan dan rasakan saat bersamaku. Kadang-kadang ia terasa begitu jauh meskipun ia berada dalam pelukanku. Kadang aku merasa ia menyembunyikan begitu banyak emosi dalam hatinya meskipun ia berkata tidak ada yang ia sembunyikan.”
“Mungkin ia sendiri tidak menyadari semua yang kau lihat dan rasakan tentang dirinya.”
“Aneh kan?! Gemas aku dibuat olehnya.”
“Apa yang membuatmu berada di sini, Putri?”
“Aku bertengkar dengannya. Ya aku tahu, aku yang salah. Aku yang memulai pertengkaran itu. Sampai detik ini aku merasa sangat bodoh mengapa harus kukatakan semua yang kurasakan saat itu. Itulah alasan aku bilang semua terasa tidak pada tempatnya. Aku tidak pernah sebodoh itu. Biasanya aku selalu berpikir terlebih dahulu ketika ingin mengatakan sesuatu. Tapi waktu itu tiba-tiba saja nama itu keluar dari bibirku.”
“Hhm...kecemburuan akan masa lalu.”
“Di mana Kota ini saat aku membutuhkannya?!” tudingku kesal pada Lady.
“Jika Ayahmu belum mengijinkanku membuka pintu gerbang, maka kau tidak akan menemukan kota ini.”
“Tapi waktu itu aku membutuhkan kota ini.”
“Itu yang kau pikirkan tapi tidak dengan kehendak Ayahandamu, Putri.”
Aku bangkit dari dudukku. Melangkah mendekat ke arah jendela.
“Siapa aku?” tanyaku pada Lady Gray- dan pada diriku sendiri, “apa yang sedang kulakukan di Kota Pelangi? Apa yang aku cari di sana? Mendadak aku menjadi amnesia dengan kehidupanku,” keluhku kesal.
“Terlalu dramatis jika kau mengatakan semua ini dengan cara yang demikian. Kesepian menawanmu dengan cara yang berbeda kali ini.”
“Syukurlah kau tahu hal itu, Lady. Kesepian yang kurasakan saat ini tidak seperti yang kuketahui dahulu. Ia hadir dalam rupa kilau permata. Tarian kehidupanku menceritakan gundahku di setiap gerakannya. Tahu apa yang paling mengesalkan bagiku?”
Lady Gray menggelengkan kepalanya meskipun jelas bagiku ia tersenyum mengetahui jawabannya. Tidak ada yang tersembunyi di matanya.
“Satu-satunya orang yang bisa kuajak bertengkar justru kekasihku sendiri.” Tawanya langsung membahana di kamar abu-abuku. Ia sampai harus memegangi perutnya karena terpingkal-pingkal.
“Inilah yang paling kusukai darimu, Putri. Kau selalu bisa membuatku tertawa bahkan di saat kau sedang sedih.”
“Aku tidak sedang melucu,”kataku kesal karena ia tak berhenti tertawa.
“OH...bagiku ya,” balasnya.
“Aku memutuskan untuk menghentikan pembelajaranku di Kelas Ungu. Aku ingin pergi keluar istana. Kupikir aku sudah punya cukup perlengkapan; nyatanya tidak. Rasanya semua pelajaran dengan nilai A di kelas Ungu tidak berguna sama sekali.”
“Hidup seringkali memberikanmu kejutan.”
“...dan membuatmu terjebak. Aku kehilangan teman-temanku. Aku kehilangan langit senjaku. Bukan kehilangan yang sesungguhnya, tapi mereka tidak berada tepat di sisiku saat aku membutuhkan mereka.”
“Kau punya teman-teman baru kan?” tanya Lady Gray meyakinkan dirinya sendiri.
“...dari dunia laki-laki. Kau tahu sendiri kan kebanyakan dari mereka menyukai hidup dengan Dionysius, atau Mars, atau Herkules. Sekalinya aku bertemu dengan mereka yang bersahabat dengan Apollo mereka membuatku mual. Gadis-gadis baru yang kukenal saat ini lebih mirip perawan-perawan di kuil Hestia. Wanita-wanita yang kukenal pun tampak seperti Letto yang menengadahkan dagunya pada Hera. Sekali lagi aku berdiri di dunia yang tidak aku kenali.”
Aku menghentikan ceritaku sejenak agar Lady Gray tidak kebingungan. Tapi ia menatapku dengan cara yang sama seolah-olah mendengar semuanya dengan jelas.
“Masa lalu itu melintas pula di antara langkahmu?” tanya Lady Gray.
“Aku tidak akan bisa lepas dari sana kan?! Di saat aku membenahi hatiku beberapa di antara mereka mengirimkan merpati posnya padaku. Aku bukan orang yang bisa tidak mengindahkan hal-hal seperti itu.”
“Dan kau menceritakannya pada kekasihmu?”
“Bodohnya aku, iya!”
“Untuk membuatnya cemburu atau mengujinya?”
“Tidak. Untuk menuntaskan kegalauanku. Sudah kukatakan, aku tidak punya siapa-siapa lagi untuk bercerita. Satu-satunya orang yang bisa kuajak berbagi hanyalah kekasihku. Tapi ia terlanjur marah, menuduhku belum menetapkan hati dan tidak menghargainya sebelum aku tuntas menyelesaikan semua yang ada di hatiku.”
“Apa yang belum sempat terkatakan padanya waktu itu, Putri?!”
“Bahwa ia telah menghadiahkan padaku dunia yang belum kukenal sebelumnya. Dunia yang masih dicari beberapa orang di masa laluku. Betapa aku mengasihinya dengan ketulusan dan kebanggaan. Lain kali aku tidak akan menceritakan apapun tentang masa laluku jika ia tidak bertanya.”
Lady Gray tersenyum saja melihatku bercerita dengan cara mirip burung Beo; tanpa titik koma. Aku menarik napas panjang sebelum melanjutkan ceritaku.
“Ia bukan orang sepertimu, Putri,” sela Lady,”pemahamannya terhadap kebebasan berbeda denganmu. Penilaiannya terhadap masa lalu dan hati tidak sama denganmu.”
“Aku tahu itu,” kataku memberi persetujuan, “lalu mengapa aku ada di istanamu, Lady?”
“Karena ketakutanmu,” jawabnya lembut namun jelas. Aku tertegun. Takut? Pada apa? Aku menatap Lady mencari jawaban dari tatapannya. Aku mendekati dan duduk di sampingnya.
“Cinta itu memang aneh. Dalam keriangan yang dibawanya ia menyisipkan kesepian; maka terciptalah rindu. Kali ini kau benar-benar menghayati perasaan ini sampai tidak ingin kehilangan setiap detik keindahannya. Lalu kau mulai takut terlarut di dalamnya. Takut menjadi lemah karena bersandar pada kekuatannya. Takut kau mengasihinya dengan cara yang salah. Kesepian menawanmu dengan cara yang berbeda. Ketakutanmu hadir dalam rupa senyuman keagungan. Dunia yang kau kenal sebelumnya perlahan berubah dan kau kebingungan karena jalan-jalan, bintang-bintang dan langit yang kau pahami menjadi kabur dan tidak jelas.
Saat terucap dari bibirnya bahwa langkah kalian harus dipertimbangkan lagi kau merasa mati saat itu juga. Itulah saat kau mengetuk pintu gerbangku. Kau hanya perlu teman bicara. Seorang kekasih terkadang tidak cukup membuatmu merasa tidak kesepian lagi. Ada kerinduan dalam jiwamu untuk bertemu dengan sahabat-sahabat yang pernah berjalan bersamamu dahulu.”
“Aku masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi denganku, Lady,” setengah memprotes aku mengucapkan kalimat itu. Perkataan Lady bukannya membuatku memahami justru membuatku semakin bingung. Ia hanya tersenyum.
“Semua yang menerima cinta di dalam hatinya memang tidak akan bisa memahaminya kecuali dengan menjalaninya perlahan-lahan. Inilah penyakit dua jiwa yang mencoba bersatu dalam cinta kasih. Jangan menyimpan kemarahan terlalu lama.”
“Aku tidak marah,” aku mengelak.
“Kadang kemarahan hadir dalam rupa kesunyian.”
Aku terdiam lagi. Kudengar gemerisik gaunnya ketika Lady bangkit dari duduknya. Tanpa kata ia meninggalkan aku sendiri lagi di kamar abu-abu. Duh, rasanya aku ingin segera pergi dari sini.
Ia sedang melamun di kamarnya yang berwarna biru keperakan saat Lady Gray mengunjunginya lagi. Tubuhnya tinggi dan tegap. Ia memiliki dada yang bidang. Saat ia bicara ia akan menyita seluruh perhatian orang-orang di sekelilingnya. Ia sangat menyukai hidup dan petualangan bersama angin. Rasanya tidak pantas ada kegalauan yang tergambar di wajahnya yang manis.
“Memikirkan apa, Pangeran?” sapa Lady Gray lembut agar tidak mengejutkannya. Ia berusaha tersenyum dan mengalihkan perhatiannya kepada wanita anggun ini.
“Semua yang sedang kurasakan dan ingin kupikirkan,” jawabnya pelan, Terdengar ragu di telinga Lady.
“Kau sudah tahu mengapa ada di sin?”
“Kalau aku mau menyalahkan orang lain, aku bisa menjawab pertanyaanmu, Lady.”
“Orang lain? Jadi kau berada di sini karena orang lain?”
“Aku tidak pernah menyadari adanya kota ini sebelum aku bertemu dengan dia.”
“Apa alasan sampai ia membawamu ke tempat ini?”
“Kupikir ia menyukai Kota ini. Kadang aku heran padanya, bagaimana bisa ia memperhatikan segala sesuatu yang sering terlewatkan oleh orang lain.”
“Ia menghargai kehidupan dengan cara demikian,” sahut Lady.
“Tapi kadang kupikir ia sering terlarut dalam dunianya sendiri.”
“Dunia seperti apa itu, Pangeran?”
“Dunia yang dapat membuatnya belajar tentang emosi dan jiwa. Ia seperti tidak berpijak di bumi dan membawa semua mimpinya itu ke dunia nyata.”
“Terwujudkah mimpinya itu?”
“Seringkali ya.”
Lady tersenyum mendengar jawaban itu. Dari semua pembicaraannya tadi ia tahu bahwa Pangeran di hadapannya ini diliputi rasa ingin tahu yang besar terhadap apa yang sedang ia jalani dalam hidupnya saat ini.
“Seperti apakah dirimu, Pangeran?”
Tidak segera dijawabnya pertanyaan itu. Ia berpikir. Lama.
“Bagi beberapa orang aku ini ....”
“Aku tidak bertanya bagaimana orang memandangmu,” sela Lady, “menurutmu sendiri.”
“Bukankah orang lain merupakan cerminan diri kita?”
“Tapi bagaimana kau tahu itu cerminan dirimu jika kau sendiri tidak mengenali bayanganmu?”sahut Lady mengembalikan pertanyaan.
Ia kembali terdiam.
“Bagaimana kau bisa memahami orang lain jika kau tidak memahami dirimu sendiri? Bukanlah kesombongan jika kita tahu apa yang menjadi kelebihan kita dan bangga terhadap hal itu. Itulah ucapan syukur kita pada Tuhan. Jika kau menyimpannya untuk dirimu sendiri itulah keangkuhan. Juga bukan mengasihani diri sendiri jika kita mengeluh atas kekurangan kita, kecuali kau menangisinya sepanjang kehidupanmu. Kau seringkali tidak menggunakan kesempatan ini saat kau berada di Kota Keheningan di masa lalu.”
“Aku tidak menyadarinya waktu itu.”
“Orang yang telah membawamu ke tempat ini sedang mengajarkanmu tentang Kota ini dan apa yang harus kau lakukan saat di sini.”
“Aku tahu itu.”
“Satu hal lagi. Meskipun ia tahu banyak tentang emosi dan jiwa ia tidak seperti Ayahnya yang tahu segalanya. Ia tidak akan tahu apa yang kau rasakan dan pikirkan jika kau tidak mengungkapkan apa yang ada dalam hatimu. Ia mengatakan itu padaku”
“Kau bertemu dengannya?” tanya Pangeran. Lady mengangguk.
“Ia pergi dengan kemarahan,” kata Pangeran.
“Kesedihan, Pangeran,” ralat Lady, “ikut denganku. Aku ingin menunjukkan padamu sesuatu.” Lady mengulurkan tangannya pada Pangeran. Ia menyambut tangan itu dan mengikuti langkah Lady. Senja sedang merias dirinya saat kedua orang itu berjalan ke luar istana.
Lady membawa Pangeran ke taman istananya. Terdengar suara gemericik sungai kecil dan hembusan angin yang meniup dedaunan tanaman perdu di taman itu. Ada seorang gadis bergaun perak duduk di tepian kolam dan memainkan tangannya di air. Lady mengendurkan genggaman tangannya saat dirasakan olehnya bahwa langkah Pangeran terhenti. Ia berjalan menjauh perlahan dari kedua orang yang ada di dalam taman itu.
Ia menatap gadis itu penuh dengan kerinduan dan kasih yang teramat besar. Hatinya nyaris tidak dapat menampung semua kerinduannya itu. Gadis itu tidak menyadari bahwa ada seseorang yang tak jauh dari tempatnya sedang mengamatinya sedemikian rupa. Ia memandangi wajahnya di pantulan air kolam. Kesedihannya belum menghilang sepenuhnya.
Pangeran melangkah mendekati gadis itu. Gadis itu nyaris terlonjak saat dilihatnya bayangan Pangeran di kolam yang sedang ia pandangi.
“Pangeran...”gumamnya tidak percaya seraya mengalihkan pandangannya. Dilihatnya seraut wajah teduh yang sering menyiksanya dalam mimpi. Pangeran itu tersenyum.
“Bagaimana bisa kau ada di sini?” tanya gadis itu.
“Kau yang membawaku ke Kota ini, Putri,” jawab Pangeran. Tangannya terulur merapikan rambut Putri yang dipermainkan angin, “apa kabar hatimu?” tanyanya setengah berbisik. Ia melingkarkan tangannya di pinggang Putri. Gadis itu tidak segera menjawab. Ia meletakkan kedua tangannya di dada Pangeran seraya memejamkan matanya dan menarik napas panjang.
“Merindukanmu,” jawabnya pelan dan dalam. Pangeran kembali tersenyum. Ia menyentuhkan keningnya di kening Putri lalu memejamkan matanya pula. Taman itu diliputi kabut tipis. Langit di atas mereka menghadirkan warna pelangi yang belum pernah disaksikan orang sebelumnya.
“Maafkan aku...,” bisik Putri dalam keheningan itu.
“Sst...” Pangeran menyentuhkan jemarinya di bibir Putri; melarangnya untuk melanjutkan perkataannya.
“Aku juga bersalah menyakitimu,” bisik Pangeran.
“Jangan pernah mengatakan bahwa aku harus menetapkan hatiku lagi. Aku sudah menetapkan hatiku untuk bersamamu,”pinta Putri.
“Maafkan aku meragukanmu,” bisik Pangeran seraya membuka matanya. Gadis itu sedang menatapnya dengan tatapan kasih. “Aku hanya tidak ingin kehilanganmu dan merasakan kekecewaan yang pernah dirasakan orang-orang di masa lalumu,” lanjutnya. Putri tersenyum mendengarnya.
“Bagaimana kau bisa kehilanganku jika aku telah mengikatkan hatiku pada kasihmu?” tanyanya lembut. Ia membelai wajah Pangeran dengan segenap perasaannya. Lalu keduanya kembali terdiam. Keheningan semakin menyelimuti taman itu. Dari dalam kabut mereka tampak seperti berdansa dalam pendar cahaya.
“Aku mengasihimu...” kata Putri. Pangeran kembali menatap gadis yang dikasihinya dengan sepenuh hati. Dengan kedalaman perasaannya ia memeluk gadis itu sebagai jawaban atas pernyataan hati kekasihnya.
...dan keheningan yang agung di antara mereka menerbangkan mereka kembali ke Kota Pelangi dengan sayap kasih.
Catatan Awan & Bintang
28 Juli 2006
“Kalau berantem jangan lama-lama.
Komentar
Posting Komentar